Pages

Kamis, 19 November 2009

Penduduk

Laju pertambahan penduduk

Perjalanan bangsa setelah 62 tahun menikmati kemerdekaan ini harus kita direnungi. Di samping berbagai kemajuan pembangunan yang telah tercapai masih kita lihat di depan mata beratnya tugas kita mensejahterakan rakyat. Masih tampak jelas dalam kehidupan sehari-hari ketimpangan ekonomi dan sosial dalam masyarakat. Kota-kota besar berkembang secara terpusat sementara desa-desa di pedalaman seakan tak tersentuh perkembangan zaman. Pendidikan yang baik hanya dinikmati oleh mereka yang berekonomi kuat. Masalah kemiskinan dan pengangguran kian bertambah berat. Contoh sederhana dari kehidupan di perkotaan; menjamurnya para pengemis yang sebagian besar terdiri dari anak-anak dan remaja, para pemuda memungut “pajak” dari kendaraan yang berbelok, atau bermain musik ala kadarnya untuk mendapat uang. Pedagang kaki lima bertambah banyak dan sulit ditertibkan. Rumah-rumah kumuh tak layak huni tumbuh padat tak teratur, lingkungan menjadi sulit dikendalikan dengan perencanaan. Jarang orang bisa memikirkan tempat hidup yang ideal, tak terpikir untuk memperhatikan flora dan fauna yang seharusnya hadir di lingkungan sekitar. Orang-orang menghabiskan waktu duduk-duduk dan bermain di setiap jengkal lahan di luar rumah mereka yang sempit. Tak ada pekerjaan, tak ada kesempatan mengecap pendidikan, tak ada banyak pilihan. Sementara gadis-gadis belia duduk mengobrol sambil menggendong anak-anak mereka yang terlahir tanpa rencana matang. Berapa jumlah mereka 10-20 tahun mendatang?
Selain faktor klasik mental manusia yang menyebabkan banyak permasalahan sosial ini, salah satu faktor penyebab yang cenderung diabaikan adalah pertumbuhan jumlah penduduk yang terlalu cepat dan kurang terkendali.
Masalah pertumbuhan penduduk di daerah padat di negeri ini sudah terpikirkan sejak dahulu oleh pemerintah Hindia-Belanda dengan membuat program transmigrasi. Oleh pemerintah Republik Indonesia program transmigrasi dilanjutkan, paralel dengan pengendalian angka kelahiran melalui program Keluarga Berencana yang sekarang mengalami banyak kemunduran. Memang sulit mengurangi angka kelahiran ini karena kita sendiri dilahirkan dari masyarakat agraris yang biasa beranak banyak. Mitos "Banyak anak banyak rezeki" dan "Rezeki ditangan Tuhan" masih banyak dianut. Ada pula sekelompok masyarakat yang mengharamkan pemakaian alat kontrasepsi, namun umumnya, pendidikan yang rendah dan ekonomi keluarga yang lemahlah yang menjadi penyebab banyak orang tidak menempatkan penyediaan alat kontrasepsi sebagai prioritas belanja rumahtangga, yang akhirnya karena faktor non-teknis, terlahirlah banyak anak. Kini penduduk Indonesia berjumlah lebih dari 235 juta jiwa dengan pertumbuhan penduduk 1,3 % pertahun. Dikatakan bahwa di negeri ini setiap lima menit terlahir seorang bayi. Memang ada keuntungan diperoleh dari banyaknya jumlah penduduk, yaitu; tersedianya angkatan kerja yang banyak dan murah, tetapi dampaknya adalah perekonomian yang juga lemah yang kemudian menjadi faktor sulitnya mencapai taraf hidup yang baik.
Bangsa Indonesia masih termasuk masyarakat yang menikah di usia muda. Pada usia 20 tahun wanita dianggap layak berkeluarga dan melahirkan anak. Walaupun konsep "Dua Anak Cukup" bisa terlaksana, dalam kurun 60 tahun bisa tercipta tiga generasi, bandingkan dengan penduduk Eropa yang rata-rata melahirkan anak di usia 30 tahun, sehingga dalam waktu yang sama hanya tercipta dua generasi. Karena itu pertumbuhan jumlah penduduk di Indonesia masih jauh lebih cepat dibandingkan negara-negara maju. Perlu dicatat bahwa usia 0 - 20 tahun adalah kelompok penduduk yang bergantung secara finansial, sementara jumlah penduduk yang produktif lebih sedikit, akibatnya beban ekonomi sangat tinggi.
Lingkungan keluarga berpengaruh besar dalam membentuk intelektualita generasi baru. Emansipasi kaum wanita di Eropa yang tinggi menyebabkan wanita seperti halnya pria bersemangat memanfaatkan waktunya untuk terus belajar dan bekerja, tanpa mengurangi tanggungjawab membesarkan dan mendidik anak. Walau bila akhirnya memilih menjadi ibu rumah tangga dan tak bekerja, wawasan dan pengetahuan yang dimiliki sang ibu cukup luas. Jumlah anak umumnya direncanakan dengan matang, didukung ayah dan ibu yang memiliki pengetahuan baik tentang tanggungjawab sosial dan lingkungan alam. Sementara di Indonesia banyak wanita belia yang sudah terlalu sibuk mengurus tiga-empat anak sekaligus dan hanya sedikit sekali dari mereka yang berkesempatan melanjutkan pendidikan dan menekuni profesi produktif.
Jumlah penduduk yang besar ini pulalah yang menyulitkan pemerintah untuk mewujudkan anggaran 20% dari APBN untuk pendidikan nasional, bila masalah lain yang menyangkut hal-hal dasar dalam kehidupan rakyat belum terpenuhi, seperti ketahanan pangan, kesehatan dan kestabilan ekonomi nasional. Nyata terlihat, ketika dunia global bergerak cepat dengan perkembangan yang revolusioner, sebagian besar rakyat Indonesia masih memikirkan masalah yang sangat mendasar; "Mencari makan". Masyarakat yang beruntung memiliki ekonomi yang cukup kuat tidak merasa hidup miskin sehingga kemiskinan rakyat Indonesia bukanlah hal yang perlu mereka pikirkan. Di sisi lain timpangnya akses untuk mendapat pendidikan telah membuat sebagian besar rakyat indonesia terjerumus dalam ketidakberpendidikan, mengantar menuju kebodohan massal yang enggan kita akui.
Dari segi mental-spiritual, agama mengajarkan kebajikan dalam hidup bermasyarakat, namun masih sedikit individu penyebar ajaran agama yang memiliki pemahaman dan wawasan luas mengenai kehidupan di sisi lain di atas bumi sebagai perbandingan. Kebajikan yang diajarkan cenderung mencakup nilai-nilai lokal yang sempit, dan karena peliknya masalah ekonomi akhirnya nilai-nilai ini tidak dijalankan semestinya dalam kehidupan sehari-hari. Rasanya komentar ini tidaklah berlebihan karena selain dikenal sebagai bangsa yang religius, Indonesia juga menempati posisi sebagai negara dengan tingkat korupsi tertinggi serta salah satu negara dengan Indeks Pembangunan Manusia terendah. Dan hebatnya, bangsa kita tidak malu dengan predikat ini.


Mulailah belajar dari orang lain.

Mari menilik kehidupan di skandinavia (Norwegia, Swedia, Finlandia, Estlandia, Denmark) yang dikenal sebagai negara-negara makmur. Kemakmuran bukan dinilai dari berapa uang atau materi yang dimiliki melainkan dari stabilnya sistem jaminan sosial yang merata bagi seluruh warganegaranya. Finlandia berpenduduk hanya sekitar lima juta jiwa dengan luas negara lebih besar dari pulau Jawa, berkontur danau, rawa dan hutan yang sangat luas dengan iklim musim dingin yang sangat panjang. Pada suhu -20° C penduduknya masih bekerja menebang dan mengangkut kayu di hutan. Mereka yang tinggal di kota pergi bekerja dengan bis yang bersuhu -25° C setelah dihangati, sementara suhu luar mencapai -40° C, dinginnya bukan kepalang. Di musim dingin ini pun matahari jarang terlihat. Semua orang harus berpikir dan bekerja keras untuk mengantisipasi kerasnya alam tempat mereka hidup, dan berkaitan dengan itu jaminan sosial bagi rakyatnya sangat dipentingkan. Walaupun mencapai kemakmuran, jumlah penduduk di negara-negara skandinavia ini tidak serta-merta bertambah. Di Cina, pemerintahnya menerapkan kebijakan Satu Anak yang sangat ketat dengan denda yang berat apabila dilanggar. Walaupun banyak terimplikasi masalah hak azasi manusia, program KB di Cina terbilang sukses. Setelah ekonominya berhasil diperkuat, sekarang diperbolehkan untuk memiliki dua anak, bahkan negara memberi tunjangan, asalkan ayah dan ibunya sama-sama sarjana berpendidikan tinggi. Mereka diharapkan bisa menghasilkan generasi baru yang unggul.
Langkah efektif untuk menyelamatkan sebuah perusahaan yang terancam bangkrut selain penambahan investasi adalah perampingan jumlah karyawan, ibarat perusahaan yang sakit dan sulit menambah investasi, Indonesia perlu menekan laju pertumbuhan penduduknya dan membenahi dulu apa yang ada. Ini sangat krusial diterapkan khususnya di wilayah yang padat penduduk. Dengan tingginya jumlah penduduk dan problem sosial yang mengiringinya, sebaiknya kita berusaha mengutamakan peningkatan kualitas daripada kuantitas manusia.
Ada baiknya bila pemerintah mencanangkan program Keluarga Berencana dengan motto "Satu Anak Cukup" serta menggalakkan pembangunan ke daerah tak padat populasi untuk merangsang minat bertransmigrasi dan menjamin keberhasilannya. Kemakmuran yang merata akan berdampak pada pengurangan potensi pertentangan budaya dan etnis yang sering terjadi. Dengan penyebaran dan pertumbuhan penduduk yang terkontrol disesuaikan dengan kemampuan ekonomi yang terbatas diharapkan pemerintah pun bisa lebih mudah memperbaiki kualitas pendidikan nasional. Bila ini terwujud, dalam waktu tidak lama hasilnya bisa kita lihat, berupa pemerataan lapangan kerja dan kemajuan di berbagai bidang. Tidak akan ada lagi manusia yang melihat manusia yang lain sebagai manusia kelas rendahan atau sekedar pemandangan. Masyarakat bisa lebih memperhatikan kualitas hidup yang bukan diukur dari jumlah uang, anak-anak bisa leluasa bermain dan belajar, memperhatikan keserasian lingkungan hidup serta kreatif mengembangkan kebudayaan. Unit-unit usaha bisa berjalan dengan kinerja yang membanggakan. Ekspor Tenaga Kerja Indonesia tidak lagi mengandalkan tenaga kerja rendah kompetensi yang sering menyebabkan masalah perlakuan buruk di negeri asing, melainkan tenaga ahli yang mampu membawa nama harum bangsa, bahkan tidak mustahil kita bisa menjadi salah satu pemain vital dalam perekonomian dunia. Dan tidak akan ada lagi gurauan bahwa satu-satunya keahlian bangsa Indonesia adalah memproduksi anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa selalu berkomentar, karena komentar anda merupakan motivasi bagi saya..